15 January 2010 eLL

MEDIA TECHNOLOGY
CRITICAL PERSPECTIVES

KONVERGENSI
Keadaan menuju satu titik pertemuan; memusat; (Ref. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, P 592)

MERGER TEKNOLOGI
Awalnya : teknologi-teknologi berkembang sendiri-sendiri, akibat perkembangan teknologi, teknologi-teknologi tersebut menjadi saling terkait. Perbedaan-perbedaan di dalam hal pengumpulan, pengiriman, penyimpanan, dan pengolahan informasi telah dapat diatasi
Industri komputer berkembang sangat pesat memicu perkembangan teknologi lain, Komputer juga berperan dalam perkembangan teknologi telekomunikasi

Koneksi telepon yang sederhana
Koneksi sederhana tidak mencukupi bila manusia yang akan berkomunikasi jumlahnya lebih dari satu pasang ?mendorong lahirnya jaringan komunikasi. Faktor Jarak dalam berkomunikasi mendorong lahirnya jaringan komunikasi jarak jauh atau dikenal dengan istilah Jaringan Telekomunikasi

Perubahan Kebudayaan; Teknologi, Ideologi dan Nilai

01.02.2008 by Slamet Widodo Category Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.

Perspektif Historis Materialisme

Teori historis materialisme digagas oleh Marx dan Engel. Pada dasarnya teori ini menyoroti perubahan moda produksi sehingga melahirkan perubahan pada berbagai aspek. Sumber perubahan kebudayaan (tentu saja perubahan sosial termasuk di dalamnya) disebabkan oleh faktor material, yaitu teknologi. Perspektif materialistis bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan perubahan sosial. Marx memberikan penjelasan bahwa pada masa teknologi masih terbatas pada kincir angin memberikan bentuk tatanan masyarakat yang feodal, sedangkan ketika mesin uap telah ditemukan tatanan masyarakat menjadi bercirikan industrial kapitalis. Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.
Penjelasan Marx tentang kelas dalam masyarakat yang telah menganut moda produksi kapitalis bertumpu pada konflik kelas sebagai akibat eksploitasi kelas bawah oleh kelas atas. Penjelasan ini didasarkan atas pengamatan empiris pada negara-negara eropa sampai dengan tahun 1845. Marx menggunakan perspektif historis materialisme sebagai sebuah hipotesis kerja untuk menjelaskan peran antara ekonomi dengan masyarakat. Historis materialisme digunakan sebagai sarana untuk mempelajari moda produksi kapitalis yang telah menggejala di negara-negara eropa. Pengamatan sejarah perkembangan negara-negara eropa terutama Jerman melahirkan dugaan bahwa semua perkembangan sejarah tersebut diwarnai oleh adanya konflik kelas. Analisis sistem ekonomi terhadap moda produksi kapitalis menghasilkan teori kemunculan dan perkembangan formasi masyarakat.
Teori historis materialis tentang perkembangan masyarakat bertujuan untuk menjelaskan proses sosialisasi pada masyarakat. Manfaat utama teori ini adalah untuk menjelaskan peranan aspek kesejarahan masa lalu terhadap kondisi masyarakat saat ini. Konsep dasar teori ini adalah adanya hubungan antara masyarakat, manusia dan lingkungannya.
Menurut Marx terdapat tiga tema menarik ketika kita hendak mempelajari perubahan sosial, yaitu :

1. Perubahan sosial menekankan pada kondisi materialis yang berpusat pada perubahan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial budaya.
2. Perubahan sosial utama adalah kondisi material dan cara produksi dan hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan.
3. Manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini mereka berjuang menghadapi lingkungan materialnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk membentuk sejarahnya sendiri dibatasi oleh keadaan lingkungan material dan sosial yang telah ada.

Dalam konsepsi Marx, perubahan sosial ada pada kondisi historis yang melekat pada perilaku manusia secara luas, tepatnya sejarah kehidupan material manusia. Pada hakikatnya perubahan sosial dapat diterangkan dari sejumlah hubungan sosial yang berasal dari pemilikan modal atau material. Dengan demikian, perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan material atau hal yang bersifat material. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut.
Perubahan dalam pandangan Marx bersifat otodinamis, terus-menerus dan berasal dari dalam. Perubahan didorong oleh kontradiksi endemik, penindasan dan ketegangan dalam struktur. Perubahan terjadi pada tiga tempat, yaitu :

1. Kontradiksi antara masyarakat dan lingkungan.
2. Kontradiksi antara tingkat teknologi yang dicapai dab organisasi sosial proses produksi yang tersedia.
3. Kontradiksi antara moda produksi dan sistem politik tradisional.

Sejalan dengan pandangan dinamis Marx, model kesatuan sosial (sistem sosial) dibangun dalam gerakan sosial internal yang konstan yaitu perubahan yang digerakkan oleh kekuatan dari dalam sistem sosial itu sendiri. Marx melihat bahwa proses ini akan berlanjut hingga menuju pada suatu keadaan yang sempurna. Pada kondisi tertentu, kekuatan material pada masyarakat akan mengalami konflik dengan hubungan produksi yang ada. Marx melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang. Hal ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh bercirikan pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis. Kaum buruh merupakan kaum proletar yang kesemuanya telah menjadi “korban” eksploitasi kaum borjuis. Marx meramalkan akan terjadi suatu keadaan dimana terjadi kesadaran kelas di kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa dampak pada adanya kemauan untuk melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari eksploitasi, perjuangan ini dilakukan melalui revolusi.

Perspektif tentang Individu dalam Perubahan Sosial

Perspektif individual menjadi sebuah alternatif untuk menjelaskan perubahan sosial. Menurut perspektif historisme, masyarakat sebagai kesatuan holistik yang bersifat menentukan sifat dan keteraturannya sendiri yang tidak dapat direduksi. Individu dipandang pasif dan cenderung tergantung pada sistem sosialnya. Sebaliknya, perspektif individual memberikan ruang yang sangat dominan terhadap individu. Pusat perhatian bergeser ke agen dan tindakannya, yaitu perilaku signifikan yang ditujukan terhadap orang lain untuk mendapatkan tanggapan. Untuk memahami tindakan sosial maka kita harus memahami terlebih dahulu tindakan individu. Tindakan individu sendiri merupakan sebuah kompleksitas antara motivasi psikologis, nilai budaya, norma dan hukum yang membentuk tindakan. Dengan demikian, faktor utama yang menjelaskan perubahan sosial adalah pada alam ide.

Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.

Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupan. Menurut Webar, rasionalitas memiliki empat macam model, yaitu :

1. Rasionalitas tradisional.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai.
3. Rasionalitas afektif.
4. Rasionalitas instrumental.

Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.

Perubahan Kebudayaan Masyarakat Indonesia

Catatan perjalanan pembangunan di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Soemardjan dan Breazeale. Penelitian yang mengulas tentang perubahan budaya pada masyarakat pedesaan Indonesia sebagai akibat kebijakan pembangunan peedesaan yang diambil oleh pemerintah orde baru. Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan oleh pemerintah diwijudkan dengan modernisasi, sebuah pendekatan pembangunan yang lazim dilakukan oleh negara berkembang. Fokus telaah dalam penelitian ini adalah beberapa program pembangunan perdesaan, antara lain; listik masuk desa, informasi masuk desa, pemberantasan buta huruf, PKK, KB, KUD dan intensifikasi pertanian (BIMAS).

Pembangunan perdesaan dengan perspektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat perdesaan sebagai posisi inferior (periferi). Perubahan selalu berasal dari pemerintah yang “menganggap dirinya lebih maju” dibandingkan masyarakat perdesaan. Budaya tradisional dianggap sebagai salah satu penghambat sehingga perlu digantikan oleh budaya modern yang lebih produktif. Orientasi utama pembangunan perdesaan adalah pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat perdesaan yang pada akhirnya akan meningkatkan pula taraf ekonomi bangsa. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semakin terkikisnya budaya tradisional oleh budaya modern. Masyarakat tradisional pada dasarnya sudah memiliki “pola pengaturan” kehidupan sosialnya sejak lama namun semuanya harus mengalami transformasi menuju “pola pengaturan” baru yang oleh pemerintah dianggap lebih baik (”modern”).

Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial. Perubahan kebudayaan ini dapat terjadi karena adanya faktor pendorong yaitu pemerintah. Pemerintah telah menjadi pihak yang memberikan introduksi dari luar sistem sebuah perubahan melalui pogram pembangunan perdesaan.

Polarisasi antara pemerintah dan masyarakat perdesaan menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan program pembangunan. Senjang kebudayaan yang terjadi perlu dijembatani oleh “broker budaya”, yaitu pihak yang menjadi perantara antara “budaya modern” dan “budaya tradisional. Peran elit desa sangat dominan dalam keberhasilan program pembangunan perdesaan ini. Mereka umunya menjadi corong pemerintah. program pembangunan perdesaan bersifat top down dan berjenjang dari pemerintah pusat hingga tingkat desa.

Di dalam kelompok sendiri pada dasarnya telah terbangun sebuah kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma. Perubahan mungkin saja tidak terjadi apabila terdapat penolakan-penolakan dari dalam kelompok. Proses perubahan membawa kelompok pada keseimbangan baru. Perubahan terjadi apabila driving forces lebih kuat dibandingkan resistences. Pada tahap ini seringkali terjadi konflik dan “polarisasi” di dalam kelompok. Kelompok mayoritas akan berusaha menekan kelompok minoritas. Seringkali kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam kelompok didasarkan pada relasi antara individu dan standar perilaku di dalam kelompok. Beberapa individu mungkin memiliki perilaku yang berbeda dengan standar perilaku di dalam kelompok. Apabila individu tetap mempertahankan perbedaan tersebut maka individu akan dikucilkan oleh kelompok dan bahkan akan “dikeluarkan” dari kelompok. Oleh karenanya seringkali individu harus berusaha untuk melakukan usaha konformis untuk menyesuaikan dengan standar kelompoknya.

Peran pemerintah sebagai sumber perubahan tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Salah satu faktor pendorong yang tidak dapat diabaikan adalah teknologi. Perkembangan teknologi modern memberikan andil yang sangat besar dalam membawa perubahan pada masyarakat perdesaan. BIMAS dapat berjalan dengan sukses karena adanya inovasi teknologi di bidang pertanian. Demikian pula dengan program pembangunan perdesaan lainnya. Perkembangan teknologi kesehatan, transportasi dan komunikasi turut memberi warna dalam “keberhasilan” perubahan kebudayaan masyarakat perdesaan.

Sejarah Televisi
Filed under: Video Production — cecepswp @ 23:21
Tags: sejarah televisi, sejarah tv

Pada tahun 1873 seorang operator telegram asal Valentia, Irlandia yang bernama Joseph May menemukan bahwa cahaya mempengaruhi resistansi elektris selenium. Ia menyadari itu bisa digunakan untuk mengubah cahaya kedalam arus listrik dengan menggunakan fotosel silenium (selenium photocell). Joseph May bersama Willoughby Smith (teknisi dari Telegraph Construction Maintenance Company) melakukan beberapa percobaan yang selanjutnya dilaporkan pada Journal of The Society of Telegraph Engineers. Hal ini merupakan embrio dari teknologi perekaman gambar.

Setelah beberapa kurun waktu lamanya kemudian diciptakan sebuah piringan metal kecil yang bisa berputar dengan lubang-lubang didalamnya oleh seorang mahasiswa yang bernama Julius Paul Gottlieb Nipkow (1860-1940) atau lebih dikenal Paul Nipkow di Berlin, Jerman pada tahun 1884 dan disebut sebagai cikal bakal lahirnya televisi. Sekitar tahun 1920 John Logie Baird (1888-1946) dan Charles Francis Jenkins (1867- 1934) menggunakan piringan karya Paul Nipkow untuk menciptakan suatu sistem dalam penangkapan gambar, transmisi, serta penerimaannya. Mereka membuat seluruh sistem televisi ini berdasarkan sistem gerakan mekanik, baik dalam penyiaran maupun penerimaannya. Pada waktu itu belum ditemukan komponen listrik tabung hampa (Cathode Ray Tube)

Televisi elektronik agak tersendat perkembangannya pada tahun-tahun itu, lebih banyak disebabkan karena televisi mekanik lebih murah dan tahan banting. Bukan itu saja, tetapi juga sangat susah untuk mendapatkan dukungan finansial bagi riset TV elektronik ketika TV mekanik dianggap sudah mampu bekerja dengan sangat baiknya pada masa itu. Sampai akhirnya Vladimir Kosmo Zworykin (1889-1982) dan Philo T. Farnsworth (1906-1971) berhasil dengan TV elektroniknya. Dengan biaya yang murah dan hasilnya berjalan baik, maka orang-orang pada waktu itu berangsur-angsur mulai meninggalkan tv mekanik dan menggantinya dengan tv elektronik.

Vladimir Zworykin, yang merupakan salah satu dari beberapa pakar pada masa itu, mendapat bantuan dari David Sarnoff (1891-1971), Senior Vice President dari RCA (Radio Corporation of America). Sarnoff sudah banyak mencurahkan perhatian pada perkembangan TV mekanik, dan meramalkan TV elektronik akan mempunyai masa depan komersial yang lebih baik. Selain itu, Philo Farnsworth juga berhasil mendapatkan sponsor untuk mendukung idenya dan ikut berkompetisi dengan Vladimir.

TV ELEKTRONIK
Baik Farnsworth, maupun Zworykin, bekerja terpisah, dan keduanya berhasil dalam membuat kemajuan bagi TV secara komersial dengan biaya yang sangat terjangkau. Di tahun 1935, keduanya mulai memancarkan siaran dengan menggunakan sistem yang sepenuhnya elektronik. Kompetitor utama mereka adalah Baird Television, yang sudah terlebih dahulu melakukan siaran sejak 1928, dengan menggunakan sistem mekanik seluruhnya. Pada saat itu sangat sedikit orang yang mempunyai televisi, dan yang mereka punyai umumnya berkualitas seadanya. Pada masa itu ukuran layar TV hanya sekitar tiga sampai delapan inchi saja sehingga persaingan mekanik dan elektronik tidak begitu nyata, tetapi kompetisi itu ada disana.

TV RCA, Tipe TT5 1939, RCA dan Zworykin siap untuk program reguler televisinya, dan mereka mendemonstrasikan secara besar-besaran pada World Fair di New York. Antusias masyarakat yang begitu besar terhadap sistem elektronik ini, menyebabkan the National Television Standards Committee [NTSC], 1941, memutuskan sudah saatnya untuk menstandarisasikan sistem transmisi siaran televisi di Amerika. Lima bulan kemudian, seluruh stasiun televisi Amerika yang berjumlah 22 buah itu, sudah mengkonversikan sistemnya kedalam standard elektronik baru.

Pada tahun-tahun pertama, ketika sedang resesi ekonomi dunia, harga satu set televisi sangat mahal. Ketika harganya mulai turun, Amerika terlibat perang dunia ke dua. Setelah perang usai, televisi masuk dalam era emasnya. Sayangnya pada masa itu semua orang hanya dapat menyaksikannya dalam format warna hitam putih.

TV BERWARNA
Sebenarnya CBS sudah lebih dahulu membangun sistem warnanya beberapa tahun sebelum rivalnya RCA. Tetapi sistem mereka tidak kompatibel dengan kebanyakan TV hitam putih diseluruh negara. CBS yang sudah mengeluarkan banyak sekali biaya untuk sistem warna mereka harus menyadari kenyataan bahwa pekerjaan mereka berakhir sia-sia. Belajar dari pengalaman CBS, RCA mulai membangun sistem warna menurut formatnya sendiri. Mereka dengan cepat membuat sistem warna yang mampu untuk diterima pada sistem warna maupun hitam putih. Setelah RCA memperlihatkan kemampuan sistem mereka, format NTSC kemudian dijadikan acuan standart untuk siaran komersial pada tahun 1953.

Seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan teknologi, televisi dari waktu ke waktu mulai banyak perbaikan dan penambahan dari sisi teknologinya. Untuk waktu kedepan televisi perlahan mulai meninggalkan teknologi analog dan menginjak ke era yang disebut televisi digital dengan kemampuan dan kualitas yang lebih baik dari generasi sebelumnya yang lazim disebut dengan teknologi IPTV [Internet Protocol Television].

1
Sejarah Pertumbuhan Televisi Komunitas di Indonesia
oleh Budhi Hermanto
Kemunculan televisi komunitas di Indonesia tidak terlepas dari proses
kritik terhadap keberadaan berbagai televisi di Indonesia itu sendiri, dimana
stasiun televisi sebagai media massif yang efektif ternyata tidak mencerahkan
kehidupan masyarakat. Sebagian besar program siaran yang ditayangkan tidak
mendidik dan jauh dari realitas kehidupan sosial masyarakat kita. Sinetron
misalnya, selalu mengetengahkan kemewahan yang tidak dipunyai masyarakat
kebanyakan.
Kritik lain adalah, program siaran televisi yang kurang mendidik. Simak
saja berbagai tayangan yang tersaji dalam layar kaca kita. Tayangan gosip
selebriti yang mengabaikan etika jurnalistik, berbagai sinetron yang
menampilkan wajah bengis untuk perebutan harta dan kekuasaan melalui
kekerasan yang secara vulgar, tayangan mistis, reality show yang kadang
melecehkan martabat manusia dan berbagi tayangan televisi lainnya,
menunjukan bahwa media televisi swasta di Indonesia jauh dari harapan sebagai
media yang mencerdaskan.
Dampak dari siaran televisi yang sarat dengan gaya metropolis (baca :
Jakarta), pada akhirnya berakibat pada tingkah laku khalayak pemirsa yang
meniru gaya kaum metropolis. Sementara mayoritas khalayak pemirsa televisi
pada umumnya, sebenarnya hidup dalam budaya dan entitas lokal. Akibatnya,
kebudayaan dan entitas lokal terpinggirkan akibat penetrasi “kebudayaan”
televisi swasta. Tidak jarang, televisi melalui iklan komersial yang ditayangkan
cenderung memaksa penonton mengikuti patron penciptaan budaya kekinian,
khususnya dalam soal gaya hidup, dan seksualitas.
Televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk
memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan
2
kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian
normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. (Mc Quail, 1996:3)
Hampir semua televisi swasta di Indonesia memang berkiblat kepada
perolehan iklan komersial sehingga televisi berkembang menjadi industri
penyiaran raksasa. Cilakanya, dengan dalih perolehan iklan , maka program
siaran yang ditayangkan menyesuaikan pasar dan akibatnya media tersebut
gagal mencerdaskan pemirsanya dengan program siaran yang bermutu.
Jika pada masa orde baru, masyarakat hanya mampu menjadi penonton
dan obyek sasaran penanaman ideologi politik otoritarinisme, yang menjauhkan
masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi, disusul kemudian
menjadi obyek sasaran bisnis yang mendorong masyarakat berperilaku
konsumtif oleh media penyiaran swasta setelah reformasi, saatnya masyarakat
mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subyek yang memilah,
memilih, dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya
setempat.
Perkembangan media sebenarnya diikuti oleh tuntutan kepada media
untuk memiliki suatu tanggungjawab sosial. Kebebasan yang dimiliki media
perlu disertai tanggungjawab sosial dan dan kecenderungan berorientasi pada
kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. (Wibowo, 1997:
58). Namun pada kenyataannya, media penyiaran (khususnya televisi swasta)
menafikkan tanggungjawab sosialnya karena tuntutan bisnis untuk meraih
keuntungan yan sebesar-besarnya dengan rating televisi (ukuran banyak pemirsa
yang menonton sebuah acara di televisi pada satu waktu) menjadi dewa dan
barometer bagi industri televisi tanpa melihat dampak yang bisa
ditimbulkannya.
Televisi komunitaslah yang kemudian dianggap sebagai media yang
memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakatnya (khalayak pemirsa).
Media komunitas dirasa tepat sebagai pilihan media yang berpihak pada
kepentingan masyarakat.
3
Televisi komunitas lahir menjadi tonggak baru dalam dunia penyiaran di
Indonesia. Media komunitas ini hadir sebagai media alternatif yang mengusung
keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), yang juga mendorong adanya
keberagaman isi (diversity of content) dalam program-program siaran karena
melayani komunitasnya yang juga beragam. Karena keberagaman kepemilikan
itulah, masyarakat bisa melakukan kontrol sendiri (self controlling) terhadap isi
siaran. Pengelola televisi komunitas tidak bisa sewenang-wenang menayangkan
program siaran yang tidak sesuai dengan nilai, aturan, maupun budaya lokal.
(Budhi, 2008).
Perubahan Regulasi Penyiaran
Pasca reformasi bergulir, kehidupan pers dan media di Indonesia
berkembang dengan sangat cepat. Khususnya media penyiaran baik radio
maupun televisi. Pertumbuhannya bak jamur di musim hujan. Pemerintah
membuka kran bagi pertumbuhan televisi swasta. Akibatnya ranah publik
dikuasi industri penyiaran. Jadilah apa yang disebut konglomerasi media,
dimana media dikuasi oleh sekelompok pengusaha.
Kehidupan ber-media yang bebas ini satu sisi cukup menggembirakan,
dimana pers dan media menjadi pilar keempatdaam sstem demokrasi yang
sedang berkembang di Indonesia. Akan tetapi pada sisi lain, kepemilikan media
ang dikuasai oleh industri penyiaran, dinilai tidak adil bagi masyarakat.
Sehingga lahirlah gagasan perubahan regulasi penyiaran di Indonesia.
Berbagai kalangan pro demokrasi mendorong perlunya perubahan
regulasi yang berpihak pada masyarakat. Maka lahirlah Undang-undang (UU)
tentang Penyiaran No 32 tahun 2002. UU Penyiaran merupakan keniscayaan
agar demokratisasi dalam bidang penyiaran terwujud seiring semangat
reformasi.
4
Media penyiaran merupakan alat kontrol masyarakat kepada negara yang
cukup efektif. Media juga mampu menampilkan citra buatan mengenai realitas
sosial. Dimana sifat media yang bisa mempengaruhi persepsi, sikap, dan
perilaku massa. (Malik, 1997:15).
Sehingga kepemilikan (ownership) atas media sebaiknya diatur dan ada
mekanisme kontrol terhadapnya. Karena dikhawatirkan, kepemilikan yang
monopoli oleh kalangan pebisnis terhadap media penyiaran , akan menjadikan
media itu sebagai katup pengaman bisnisnya dari kritikan masyarakat. Karena
biasanya isi media yang dikuasi sekelompok orang selalu merefleksikan
kepentingan pihak yang membiayai mereka (McQuails, 2000: 193).
Hampir dipastikan selalu ada relasi yang kuat antara kepemilikan media
terhadap isi siaran media itu sendiri. Kepemilikan media yang monopolistik
membuat masyarakat miskin informasi beragam yang mendidik, karena semua
isi (content) hanya bermuara untuk mendapatkan keuntungan (profit) bagi
industri media. Dalam jangka panjang, hal ini tidak menguntungkan bagi
pengembangan demokrasi dunia penyiaran.
Melalui UU Penyiaran No 32, diharapkan terwujud desentralisasi
penyiaran, dimana memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk
mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan
tatanan nilai/norma setempat. UU ini juga memberikan celah bagi masyarakat
untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Pendek kata, masyarakat
diberi ruang untuk tidak lagi menjadi obyek penyiaran, namun bisa berperan
dalam mewarnai dunia penyiaran.
Wacana Televisi Komunitas
Seiring dengan dibukanya peran masyarakat dalam bidang penyiaran
melaui UU Penyiaran, maka lahirlah berbagai media komunitas. Dalam UU
disebut sebagai Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK).
5
“lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan
hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak
komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk
melayani kepentingan komunitasnya. ” (UU Penyiaran No 32 Tahun 2002)
Sebagai salah satu LPK, televisi komunitas hadir untuk memberikan
alternatif informasi dan hiburan bagi khalayak pemirsa di komunitasnya. Jika
industri penyiaran melalui televisi swasta mendefinisikan khalayak pemirsa
televisi hanya sebagai objek pasif yang menerima apa yang disampaikannya,
dimana khalayak diposisikan tidak punya kuasa dalam relasi kapital media
mainstream. Maka televisi komunitas kebalikannya, sebagai media non
komersial, ia menempatkan warga komunitas (khalayak penonton) sebagai
“produser” yang memiliki kuasa atas segala informasi dan hiburan yang
dibutuhkan warga komunitas itu sendiri.
Wacana pentingnya televisi komunitas sebagai perwujudan demokratisasi
penyiaran, pertama kali digulirkan ketika advokasi terhadap Rancangan
Undang-undang Penyiaran dilakukan pada tahun 2000-an. Dalam
perkembangannya lebih dulu bermunculan radio-radio komunitas di berbagai
wilayah di Indonesia. Setelahnya baru lahir televisi komunitas baik yang
menggunakan freqeunsi sebagai media transmisi siaran, maupun siaran televisi
komunitas yang ditransmisikan melalui kabel dan internet.
Diskursus mengenai televisi komunitas mulai mengemuka untuk
pertamakalinya ketika diselenggarakan kegiatan seminar dan workshop “Masa
Depan Televisi Komunitas di Indonesia” oleh Fakultas Film dan Televisi IKJ di
Jakarta pada bulan Mei 2007, yang dihadiri sejumlah lembaga dari perguruan
tinggi, LSM, aktivis penyiaran dan pemerintah . Beberapa point penting yang
dihasilkan pada forum tersebut adalah :
6
Pertama, community dimaknai citizen sehingga televisi komunitas
mendiami geografis tertentu dan melayani komunitas dalam batasan geografis
tersebut. Televisi komunitas diharapkan menyuarakan kepentingan dan
kebutuhan warga dalam geografis tersebut, baik televisi berbasis warga, maupun
televisi sekolah/kampus. Karenanya televisi komunitas tidak studio based, tetapi
field based sehingga program siaran televisi komunitas tidak terhambat karena
harus memenuhi “standard broadcasting” sebagaimana stasiun televisi swasta.
Dengan menggunakan ruang public sebagai studio siaran bagi televisi
komunitas, ia justru sedang memenuhi keragaman isi (diversity of content)
berdasar realitas kehidupan komunitasnya.
Kedua, Isi siaran TV komunitas pada intinya membebaskan manusia dari
keterasingan sebagai konsekuensi logis dari tekanan kapitalisme. Dalam kaitan
ini, kehadiran media komunitas diharapkan dapat digunakan untuk
menyambung kembali relasi sosial dalam lingkungan komunitas. Televisi
komunitas sebagai community broadcasting menyuarakan suara akar rumput yang
tidak terwadahi dalam media mainstream, sehingga ia mampu memberikan akses
informasi pada masyarakat tentang kehidupan sehari-hari sekaligus mampu
merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokratisasi dan kontrol sosial
serta memberikan lahan subur bagi budaya, identitas dan kearifan lokal.
Program siaran yang baik dalam televisi komunitas adalah yang dekat
dengan masyarakatnya, bahasanya dikenal, struktur bahasa dipahami, masalah
digali dari masyarakat lokal, memakai musik dan gambar yang dikenal di
daerah tersebut. Dengan ini, community broadcasting diharapkan membuat
masyarakat lebih suka menonton karena mereka bisa menonton/mendengar
sesuatu yang berhubungan dengan mereka sendiri.
Ketiga, televisi komunitas harus menjadi bagian dari proses membuat
masyarakat berdaya. Harus ada proses pemberdayaan, bahkan jika itu diinisiasi
oleh orang luar komunitasnya. Salah satu proses pemberdayaan yang bisa
dilakukan adalah menjadikan televisi komunitas sebagai outlet bagi produk
7
gerakan media literacy atau pendidikan melek media, sehingga masyarat bisa
kritis terhadap isi siaran media.
Keempat, advokasi bagi pendirian dan perijinan televisi komunitas.
Kendati telah terakomodasi dalam UU Penyiaran No 32 tahun 2002, keberadaan
televisi komunitas masih membutuhkan bantuan advokasi, khususnya terkait
dengan perijinan, alokasi frekuensi dan standart teknis bagi televisi komunitas.
Advokasi juga diperlukan terkait dengan perkembangan teknologi digital dalam
penyiaran yang akan diberlakukan oleh pemerintah bagi dunia penyiaran di
Indonesia.
Kelima, televisi komunitas membutuhkan dedikasi karena tidak
berorientasi mencari keuntungan. Modal utama bagi televisi komunitas adalah
partisipasi masyarakat. Sehingga program siaran televisi komunitas
merepresentasikan, merefleksikan sekaligus melibatkan komunitas, bukan
perorangan. Televisi komunitas juga harus bertanggung jawab atas produk yang
diproduksi.
Keenam, pengembangan jaringan. Untuk mewujudkan harapan
sebagaimana terurai pada point diatas. Televisi komunitas perlu mengembangan
jaringan kerjasama dengan berbagai pihak. Khususnya untuk penguatan
kapasitas baik ketrampilan maupun pengetahuan bagi para pengelola televisi
komunitas.
Sebagai tindaklanjut dari kegiatan seminar dan workshop di FFTV-IKJ,
pada bulan September 2007 diselenggarakan kegiatan training dan pertemuan
televisi komunitas se-Indonesia di Grabag TV, Grabag Magelang. Forum tesebut
diikuti sejumlah pengelola televisi komunitas bebasis warga, maupun
sekolah/kampus. Sebagian lainnya adalah lembaga swadaya masyarakat dan
aktivis penyiaran.
Pada forum petemuan televisi komunitas di Grabag tersebut, disepakati
untuk membentuk kelompok kerja (Pokja) televisi komunitas Indonesia yang
bertugas untuk; 1) Melakukan penguatan kapasitas bagi pengelola televise
8
komunitas, 2) Advokasi perijinan dan alokasi frekuensi bagi televise komunitas,
3) Membangun jaringan kerjasama bagi pengembangan televise komunitas serta,
4) Membentuk asosiasi televisi komunitas Indonesia.
Proses pengembangan wacana pertumbuhan televisi komunitas di
Indonesia terus berlangsung melalui berbagai forum yang bekerjasama dengan
berbagai lembaga baik kampus maupun LSM di Indonesia. Pasca kegiatan di
FFTV-IKJ Jakarta dan Grabag TV, forum berikutnya berupa seminar dan
workshop televisi komunitas terselenggara di Yogyakarta pada bulan Desember
2007 kerjasama antara Pokja TV Komunitas Indonesia dengan Program Studi
Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Combine Resource Instiution,
FFTV-IKJ, dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta .
Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia
Sesuai dengan mandat dan tugas bagi Pokja TV Komunitas, pada bulan
Mei 2008 diselenggarakan “Temu Nasional Televisi Komunitas” di Grabag TV,
Magelang yang diikuti lebih dari 100 peserta, terdiri dari 28 televisi komunitas
baik berbasis warga, sekolah/kampus, dan sejumlah lembaga swadaya
masyarakat, institusi pendidikan/kampus, maupun individu yang concern
terhadap pengembangan media komunitas.
Beberapa lembaga sangat membantu atas terselenggaranya kegiatan temu
nasional televisi komunitas tersebut. Pokja Televisi Komunitas mendapat
dukungan dari Yayasan Tifa, FFTV-IKJ, Combine Resource Institution, dan
khususnya para peserta temu nasional itu sendiri yang secara sukarela
memberikan kontribusi dana bagi penyelenggaraan kegiatan selain membiayai
sendiri transport dan akomodasi selama kegiatan berlangsung.
Forum yang berangsung selama empat hari tersebut mengusung
semangat partisipasi dalam perwujudan televisi komunitas sebagai media
pemberdayaan masyarakat. Dimana televisi komunitas menjadi media yang
9
mencerdaskan khalayak pemirsanya, sebagai jawaban atas kritik terhadap
televisi swasta sebagaimana terurai pada paragraph terdahulu.
Diskursus tentang penyepakatan istilah televisi komunitas dalam forum
temu nasional televisi komunitas berlangsung cukup seru. Terdapat perbedaan
pandang (paradigma) yang cukup tajam antara kelompok televisi komunitas
berbasis warga dan televisi komunitas yang didirikan di sekolah terkait dengan
program televisi pendidikan dari Departmen Pendidikan Nasional (TVEducation).
Perbedaan tersebut terkait dengan batasan dan keterlibatan warga
(partisipasi) dalam pengelolaan televisi komunitas, yang tentu bukan hal mudah
bagi pengelola televisi berbasis sekolah (SMK/SMU). Sebagian penggiat televisi
komunitas berbasis warga sepakat batasan komunitas adalah pendekatan
geografis (wilayah) sesuai dengan satu aturan perijinan pendirian lembaga
penyiaran komunitas mensyaratkan adanya dukungan 250 warga dewasa yang
berdomisili di sekitar stasiun televise komunitas. Sementara bagi penggiat
televise komunitas yang berbasis sekolah/kampus memiliki cara pandang yang
berbeda. Kedua perbedaan pendapat ini mengkerucut pada satu kesamaan visi,
dimana televise komunitas sebagai media alternatif harus berperan dalam
memberdayakan komunitasnya. Baik itu berbasis sekolah/kampus atau warga,
kesemuanya memiliki tanggungjawab sosial pada komunitasnya. Dimana,
warga tidak hanya menjadi “penonton” tayangan televisi, namun juga berperan
sebagai subyek atau pelaku tv komunitas itu sendiri.
Perbedaan cara pandang tersebut juga cukup dipahami oleh keduanya
karena setidaknya memiliki “mimpi” bersama menjadikan televisi komunitas
sebagai media yang menyajikan alternatif program siaran yang berbeda dengan
televisi swasta.
Pada kegiatan forum temu nasional televisi komunitas, selain perguliran
wacana pengembangan media komunitas, ide/gagasan, serta pengembangan
jaringan, forum tersebut juga berhasil mendeklarasikan berdirinya Asosiasi
10
DEKLARASI ASOSIASI TELEVISI KOMUNITAS
Undang-Undang nomor 32 th 2002 tentang penyiaran serta Peraturan
Pemerintah nomor 51 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Komunitas, menjamin keberadaan televisi
komunitas. Namun kenyataannya televisi komunitas masih
diperlakukan secara diskriminatif, terbukti Surat Keputusan Menteri
Perhubungan No 76 th 2003 tidak mengalokasikan frekuensi untuk
Televisi Komunitas.
Disamping masalah tersebut, regulasi bidang penyiaran yang ada saat
ini tidak kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya Televisi
Komunitas di Indonesia. Prosedur perizinan rumit, persyaratannya
berat, membutuhkan banyak waktu dan biaya.
Di sisi lain, dominasi TV swasta telah mengancam punahnya nilai-nilai
lokal, terjadinya penyeragaman budaya dan citarasa, sentralisasi
ekonomi, dan monopoli informasi yang secara nyata mengancam
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu
dibutuhkan penguatan Televisi Komunitas sebagai media pendidikan,
ekspresi budaya dan nilai-nilai lokal, meningkatkan daya dan posisi
tawar, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan hal itu dibutuhkan suatu organisasi yang
mampu memperjuangkan hak hidup dan berkembangnya televisi
komunitas di Indonesia sehingga sistem penyiaran nasional yang
demokratis.
Maka pada hari ini, selasa, tanggal 20 mei 2008, bertempat di Grabag
kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kami yang bertanda tangan
dibawah ini, peserta Temu Nasional Televisi Komunitas, bersepakat
untuk mendeklarasikan terbentuknya Asosiasi Televisi Komunitas
Indonesia atau ATVKI.
Grabag, 20 Mei 2008.
Dewan Pengurus ATVKI:
• Langgeng Budi Harso dari Bahurekso TV
Kendal
• Ian dari Rajawali TV Bandung
• Agus “Yayan” Herdyano dari Jakarta
• Uib Solahudin dari IAIN TV Serang
• Supriyanto dari Grabag TV Magelang
Dewan Pengawas ATVKI:
• Hartanto dari dewan penasehat Grabag TV
• Affras Soemarno dari Departemen
Pendidikan Nasional
• Yadual Nilfa Adriyanta dari Kreatif TV
• Non Iriani dari SMK Cakra Buana
• Tommy W. Taslim dari FFTV IKJ Jakarta
• Subagyo dari FFTV IKJ Jakarta
• M. Jaiz dari Untirta TV
Televisi Komunitas Indonesia (ATVKI) dan terpilihnya pengurus ATVKI yang
bertugas selama 3 tahun sejak ditetapkan. (Box : naskah Deklarasi, dan Susunan
Pengurus).
Pendirian Televisi Komunitas
Salah satu ciri dari televisi komunitas sebagai lembaga penyiaran
komunitas adalah keberadaan lembaga penyiaran ini dari, oleh dan untuk
komunitasnya. Istilah lain adalah sebagai media partisipatif yang mensyaratkan
keterlibatan komunitas didalamnya. Semakin banyak keterlibatan warga dalam
11
lembaga penyiaran komunitas (diversity of ownership), akan mendorong adanya
keberagaman isi siaran (diversity of content) yang semakin baik. (Budhi: 2008)
Lantas bagaimana mewujudkannya istilah partipatif dalam televisi
komunitas?. Belajar dari berbagai kelompok video komunitas yang lebih dulu
marak dan berkembang, partisipatif yang dimaksud bukanlah ‘mengajak semua
fihak’, apalagi dengan keharusan menampung kepentingan semua fihak dalam
komunitas. Partisipasi yang maksud menekankan pada melibatkan kelompok
atau lapisan masyarakat yang oleh berbagai ketimpangan sosial politik,
ekonomi, dan budaya selama ini terabaikan oleh kekuasaan (termasuk
kekuasaan atas media) dari proses-proses pengambilan keputusan yang
menentukan nasib mereka. (Memahami Video Komunitas; Kawan Nusa Bali,
2008).
Perwujudan partisipasi dalam televisi komunitas pada proses awal adalah
membangun pemahaman (visioning) bersama tentang perlunya keberadaan
media yang mampu menjalin relasi sosial secara adil bagi segenap warga
komunitasnya. Selanjutnya adalah mengajak keterlibatan warga komunitas
untuk bersama-sama terlibat mengelola dan memproduksi isi siaran televisi
yang sesuai dengan kebutuhan, dan keinginan warga komunitasnya.
Tidak terlalu sulit untuk mewujudkan keterlibatan warga dalam produksi
televisi. Karena sesungguhnya warga di komunitas memiliki “segudang”
pengetahuan baik sumberdaya, informasi, berbagai kearifan lokal hingga ide-ide
perubahan. Yang diperlukan untuk itu adalah kemampuan menggali segala
sumber potensi sekaligus merajutnya dengan baik. Ketrampilan menjadi
fasilitator masyarakat diperlukan bagi penggiat televisi komunitas untuk
mewujudkan partisipasi warga dalam media komunitas.
Televisi komunitas sebagai media pemberdayaan sebenarnya dimulai dari
titik ini. Dimana warga komunitas secara tidak langsung sedang belajar
bagaimana pola komunikasi itu terbentuk menggunakan media televisi. Warga
komunitas juga menjadi tahu tentang produk televisi apapun itu bentuknya
12
(film, feature, dokumenter, news, dll) diproduksi dan disiarkan karena tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya. Setidaknya ada ideologi yang
melatarbelakangi proses produksi siaran televisi. Jika bagi televisi komersial,
maka produksi siarannya adalah memenuhi selera pengiklan dan pasar, namun
sebaliknya bagi televisi komunitas, produksi siarannya tidak terjebak pada selera
pasar dan modal kapital.
Berdasar hasil observasi penulis, setidaknya ada dua ragam proses
berdirinya televisi komunitas di Indonesia. Kelompok pertama, adalah televisi
komunitas berbasis sekolah dan kampus (perguruan tinggi). Cukup banyak
media komunitas yang didirikan oleh sekolah maupun kampus.
Pada sekolah kejuruan (SMK) dan SMU, setidaknya terdapat 20 sekolah
yang telah memiliki perangkat siaran televisi komunitas yang berasal dari
Departemen Pendidikan Nasional. Mereka mengudara untuk me-reley program
siaran pendidikan (TV Education) yang disiarkan Pusat Teknoligi dan Komunkasi
Depdiknas maupun program siaran yang dikelola oleh siswa-siswi sekolah
tersebut.
Berdasar observasi penulis, secara teknis kemampuan penyusunan
program siaran dan pengelolaan kelembagaan cukup memadai. Karena bebagai
pelatihan dan penguatan kapasitas telah dilakukan kepada mereka. Ketersediaan
biaya operasional juga cukup terpenuhi karena mereka ditopang oleh anggaran
pendidikan di sekolah masing-masing. Namun demikian, paradigma tentang
media komunitas dikalangan pegelola televisi komunitas berbasis sekolah ini
belum cukup baik. Hal tersebut dapat ditengok dari program siaran yang belum
banyak menyentuh aspek kehidupan sosial masyarakat sekitar. Alih-alih
mendorong perubahan sosial di tengah masyarakat, program siaran yang
mencerminkan kondisi sosial, adat dan budaya lokal belum cukup terwadahi
dalam media tersebut.
Kondisi tersebut cukup dipahami karena proses pendirian media
komunitas tersebut top down, dimana pemerintah melalui Depdiknas yang
13
mengisisiasi adanya televisi untuk pendidikan melalui sekolah-sekolah. Idealnya
memang ada aturan tersendiri berupa lembaga penyiaran pendidikan, namun
karena regulasi penyiaran yang ada di Indonesia adalah Lembaga Penyiaran
Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan, dan
Lembaga Penyiaran Komunitas, maka televisi pendidikan di sekolah tersebut
masuk pada kategori Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK).
Dalam berbagai diskursus tentang LPK sebagaimana terurai pada
paragraft terdahulu. Media komunitas mensyaratkan keterlibatan warga
komunitas dalam pengelolaan televisi komunitas. Dalam konteks televisi
komunitas berbasis sekolah, hal tersebut menjadi cukup sulit terpenuhi karena
sebagian besar pemahaman pengelola televisi komunitas berbasis sekolah
terbatas pada komunitas sekolah itu sendiri (siswa, guru dan wali murid).
Namun demikian, sejumlah pihak telah berupaya mendorong adanya
perubahan paradigma media komunitas di kalangan penggiat televis komunitas
berbasis sekolah agar mereka mampu mengakomodasi kepentingan warga
komunitas diluar komunitas sekolah (guru dan siswa), agar televisi komunitas
tersebut benar-benar menjadi media komunitas yang bermanfaat tidak hanya
bagi siswa dan guru namun juga warga sekitar sekolah.
Termasuk dalam kategori kelompok pertama ini adalah, televisi
komunitas yang berada di kampus/perguruan tinggi. Awalnya sebagian besar
adalah sebagai laboratorium praktek mahasiswa, khususnya jurusan komunikasi
atau broadcasting sebagai tempat mengasah ketrampilan dalam dunia
broadcasting. Ada juga yang didirikan sebagai media publikasi kampus pada
masyarakat luar kampus.
Sepertihalnya televisi komunitas berbasis sekolah, televisi komunitas
berbasis kampus juga ada yang memiliki cara pandang berbeda atas istilah
media komunitas. Civitas akademiklah yang menjadi basis komunitas mereka.
Jika media siaran yang dipakai adalah televise kabel (siaran yang ditransmisikan
menggunakan kabel) tentu bukan masalah, namun jika televisi komunitas
14
berbasis kampus juga menggunakan ranah publik berupa frekuensi, maka warga
sekitar kampus semestinya terakomodasi dalam media komunitas tersebut.
Beberapa televisi komunitas berbasis kampus lainnya cukup memahami
paradigma tentang media komunitas. Sehingga mereka mampu mengakmodasi
kebutuhan informasi dan peran warga disekitar kampus dalam program siaran.
Setidaknya televisi komunitas berbasis kampus dijadikan sebagai media untuk
proses pendidikan melek media (media literasi) bagi masyarakat luas.
Kelompok Kedua, adalah televisi komunitas yang tumbuh atas dasar
inisiatif warga masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada seorang atau beberapa
orang aktivis setempat yang menginisiasi berdirinya media komunitas tersebut.
Grabag TV misalnya, televisi komunitas ini diinisiasi oleh Hartanto seorang
Dosen dari Intitut Kesenian Jakarta dan mendapat dukungan dari warga desa
Grabag, Kec. Grabag, Kab. Magelang.
Termasuk dalam kelompok pertama adalah Rajawali TV, di Bandung,
Tani TV di Srumbung, Magelang dan Purworejo TV di Purworejo. Beberapa
televisi komunitas lain seperti Madani TV, di Depok- Jawa Barat, Al Washilah
TV Kebon Jeruk-Jakarta, PAL TV di Palmerah-Jakarta, dan beberapa stasiun
televisi komunitas lain bagian dari kelompok ini.
Beberapa diantara media komunitas tersebut lahir identitas sektarian
(basis keagamaan). Tidak salah, namun tantangannya adalah menjaga
independensi dan netralitas sebagai lembaga penyiaran komunitas sebagaimana
diatur dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 maupun Peraturan Pemerintah
No 51 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas.
“Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan oleh komunitas dalam wilayah tertentu,
bersifat independen, tidak komersial, dan hanya untuk melayani kepentingan
komunitasnya (pasal 3 PP No 1 Tahun 2005)”
15
Televisi komunitas yang berbasis sektarian keagamaan sebagaimana
tersebut diatas, harus berhati-hati untuk tidak terjebak pada kepentingan
kelompok dan politik semata, demikian pula televisi komunitas yang bebasis
warga (non sektarian). Karena sebagai televisi komunitas, ia dituntut harus
mampu menjaga independensi dirinya.
TV Komunitas tidak diperkenankan untuk kepentingan politik dan
golongan tertentu. Sifatnya adalah untuk mengakomodasi keberagaman warga
komunitasnya. Jika memasuki ranah politik, media komunitas ini justru sebagai
media pendidikan politik bagi warganya.
Tantangan bagi penggiat televisi komunitas lainnya adalah menjaga
sustainibilitas (keberlangsungan) siaran televisi dengan mengandalkan peran
dan pertisipasi warga komuniatasnya khususnya dalam pembiayan. Semakin
tinggi peran dan partisipasi warga dalam pengelolaan televisi semakin panjang
“umur” media komunitas tersebut, pun sebaliknya jika tidak mampu
mendorong partisipasi warga dengan baik maka media komunitas itu tidak bisa
berumur panjang.
Tidak jarang media komunitas terpaksa gulung tikar karena ditinggalkan
oleh penggiat media tersebut. Karenanya proses pengkaderan dalam Lembaga
Penyiaran Komunitas menjadi hal yang krusial dan harus disiapkan dengan baik
untuk menjaga keberlangsungan media itu sendiri.
Bagi televisi komunitas berbasis warga yang mampu mendorong
partisipasi warga dengan baik, tentu tidak mengalami kesulitan dalam
menggalang dukungan warga dalam proses perijinan. Karena menurut PP No 51
tahun 2005 tentang LPK, disebutkan bahwa;
“Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan dengan persetujuan tertulis dari paling
sedikit 51% (lima puluh satu perseratus) dari jumlah penduduk dewasa atau paling
sedikit 250 (dua ratus lima puluh) orang dewasa dan dikuatkan dengan persetujuan
tertulis aparat pemerintah setingkat kepala desa/lurah setempat.”
(pasal 4 Ayat 2 PP No 51)
16
Tercatat sejumlah televisi komunitas sedang mengurus perijinan ke
Komisi Penyiaran Indonesia. Bahkan sudah ada yang mendapat ijin prinpip
penyelenggaraan penyiaran, yakni Candradimuka TV, dari Sekolah Tinggi Ilmu
Sosial Candradimuka, Palembang yang telah mengantongi ijin penyelenggaraan
penyiaran sejak tanggal 23 Sepember 2008 lalu. Sementara Untirta TV dan IAIN
TV di Banten baru mengantongi rekomendasi dari KPID setempat, menunggu
hasil Forum Rapat Bersama antara Pemerintah (Depkominfo) dan KPI Pusat.
Al Washilah TV yang bermarkas di Kembangan, Kebon Jeruk, Jakarta
telah mendapat verifikasi faktual dari KPI. Sedangkan 7 (tujuh) televisi
komunitas di Jawa Barat, yakni yakni SEDC-TV, Televisi Pendidikan Kota
Cimahi, Panguyuban Komunitas TV Nusantara (TVB), Televisi Komunitas
Pendidikan KIJARA, Televisi Komunitas Universitas Gunadharma, Komunitas
Study Broadcasting Television (SBC TV), dan Televisi Komunitas SPENSA, telah
melalui proses pra-FRB (Forum Rapat Bersama) antara Depkominfo dan KPI.
Keragaman Isi Siaran
Program siaran televisi komunitas dibawah ini bisa menjadi contoh bagi
keragaman perkembangan televisi komuniatas di Indonesia. Keragaman tersebut
bisa kita lihat dari program siaran yang berbeda dengan program siaran televisi
swasta pada umumnya.
Tulisan ini tidak bermaksud mengedepankan contoh salah satu televisi
komunitas di Indonesia. Namun karena keterbatasan penulis dalam melakukan
observasi dan pengamatan terhadap perkembangan media komunitas, maka
tulisan ini hanya mampu mengetengahkan beberapa contoh program siaran
televise komunitas di Indonesia.
Grabag TV Komunitas, Magelang misalnya. Televisi komunitas berfungsi
tidak hanya bermanfaat memberikan akses informasi yang langsung
bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, namun juga media aktualisasi warga
17
dalam pengembangan seni-budaya lokal, dan pendidikan.Beberapa program
siaran yang ditayangkan melalui Grabag TV berisi tentang aktivitas kehidupan
masyarakat sekitar, seni pertunjukan lokal, dan memberikan kesempatan pada
siswa-siswa sekolah sekitar untuk berekspresi melalui tv komunitas.
Di Grabag tidak ada kualifikasi dan persyaratan khusus dalam proses
produksi siaran televisi seperti layaknya yang terjadi di televisi swasta, tidak
perlu persyaratan camera face, berpenampilan dan bersuara menarik. Tayangan
televisi komunitas terlihat sangat natural, apa adanya. Keterbatasan peralatan
tidak menyurutkan para pegiat televisi komunitas di Grabag untuk
menyuguhkan tayangan alternatif bagi pemirsanya. (Budhi, 2008)
Berbekal camera handycam seharga 2 juta dibantu tripod seharga 100 ribu,
kameramen Grabag TV yang merangkap reporter membuat program siaran
dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Karena berperan sebagai kameramen
merangkap reporter (kadang juga sebagai director) ia harus sebisa mungkin
mensiasati keterbatasan tersebut. Dalam sebuah program siaran tentang
pertanian misalnya, setelah ia memberikan narasi pembuka dengan teknik
kamera close up kepada dirinya sebagai reporter, sejenak kemudian ia berhenti
dan mendekat ke camera dan merubah shot kamera menjadi long shoot agar
petani yang berdiri disampingnya masuk dalam sorotan kamera. Kemudian sang
reporter yang juga merangkap kameramen tersebut melanjutkan reportasenya
dengan melakukan wawancara terhadap petani sebagai narasumber.
Sungguh menggelikan sekaligus menghibur karena ditayangkan melalui televisi
tanpa proses editing yang sempurna, penampilan reporter yang terpaksa bolakbalik
ke kameran dan si petani yang sesekali terlihat melirik ke kamera menjadi
warna tersendiri bagi program siaran ala televisi komunitas tersebut.
Pada kesempatan lain, sejumlah orang tampak berdebat bak politikus
kawakan di layar televisi. Mereka adalah para calon Kepala Desa yang sedang
berdebat, lokasinya bukan di studio ber-AC atau hotel berbintang yang di design
sebagai tempat debat kandidat calon Gubernur atau calon Presiden sebagaimana
18
kalau kita lihat dilayar televisi swasta, namun perdebatan mereka di halaman
balai desa, duduk melingkar di kursi plastik dengan dekorasi seadanya.
Beberapa penonton di “studio” malah terlihat bekerudung sarung untuk
mengsir hawa dingin. Sesekali debat yang seru itu diselingi nyanyian biduan
lokal berupa lagu campursari dan penyanyipun berjoget bak bintang kontes
dangdut. Meriah !.
Program siaran yang menarik tersebut melibatkan banyak orang mulai
dari program director, kameramen, tukang lampu (mereka menyebutkan begitu),
hingga host (pembawa acara debat) yang dilakukan warga setempat dimana
kesehariannya adalah berprofesi sebagai supir, petani, tukang ojek dan
pedagang pasar.
Itulah televisi komunitas, isi acara program siaran tentang keseharian
warga. Jauh dari tayangan glamour yang menggambarkan ruangan berkelas,
rumah mewah, mobil terbaru, dan produk-produk konsumtif yang sedang
trendy. Televisi komunitas tidak mempunyai studio siaran. Alam dan
lingkunganlah yang menjadi studio mereka. Bahkan wajah reporter maupun
pemain tanpa make up, sehingga terlihat berkilau akibat keringat yang
membasahi jidat dan wajah mereka.
Lain lagi di Rajawali TV, Bandung. Salah satu program siarannya adalah
siaran langsung ceramah keagaman. Sebagai contoh adalah ceramah keagamaan
yang waktu itu dibawakan mantan rocker Ustadz Hari Mukti yang mengkritisi
perilaku pejabat korup, menyuap untuk mendapatkan jabatan, berzina dan
perilaku tidak patut lainnya.
Tidak jarang Rajawali TV juga menyiarkan langsung berbagai aktivitas
kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh warga setempat. Tak peduli
terpaksa para penggiat televisi komunitas harus mengulur kabel dan membawa
peralatan ke lokasi kegiatan. Menariknya, semua itu itu dilakukan dengan
semangat volunteersm (kesukarelawanan) tanpa berhapar imbalan dan bayaran.
19
Hal serupa juga terjadi di PAL TV, Palmerah Jakarta. Televisi komunitas
yang sebagian besar dikelola anak muda ini sering kali menyiarkan secara
langsung pertandingan bulutangkis antar klub yang ada di wilayah tersebut.
Bahkan, untuk menyiarkan perhelatan ini, mereka rela membawa semua
perangkat studio ke lapangan bulu tangkis tersebut. Menurut mereka, siaran
langsung pertandingan bulutangkis akan disiarkan sampai tengah malam,
sampai pertandingan terakhir selesai. Satu-satunya yang bisa menghentikan
pertandingan dan siaran langsung pertandingan bulutangkis tersebut, hanyalah
ketika hujan lebat turun (Komisi Penyiaran Indonesia, 2008)
Berbagai acara di televisi komunitas rupa-rupa bentuknya. Mulai dari
arisan, rembug warga, kerja bhakti, kontes menyanyi yang dilakukan tanpa
seleksi, pertunjukan kesenian tradisional, debat calon ketua RT hingga calon
Kepada Desa, dialog kebudayaan yang diselingi seni tradisi lokal, talkshow
seputar persoalan warga, demo memasak ibu-ibu PKK, pengajian/siraman
rohani, semarak tujuh belas agustusan, warta warga, berita lelayu (kabar duka)
dan kabar gembira (pernikahan dan kelahiran anak), video klip lagu-lagu
daerah, bercerita (story telling) tentang legenda setempat oleh pelajar, pemutaran
film indie label (film non komersial) dan karya video komunitas, dan beberapa
program acara lain yang tidak pernah ditayangkan oleh televisi swasta.
Advokasi bagi Televisi Komunitas
Pertumbuhan televisi komunitas di Indonesia saat ini menjadi sebuah
keniscayaan. Kehadiran media komunitas tersebut menggembirakan karena itu
menunjukan sikap kritis masyarakat terhadap kebutuhan informasi dan hiburan
yang mendidik lagi mencerdaskan. Namun demikian, persoalan yang dihadapi
masih cukup beragam baik secara internal maupun ekternal.
Pertama, paradigma media komunitas, karena adanya perbedaan latar
belakang pendirian televisi komunitas antara yang berbasis warga dan kampus,
20
maka terjadi perbedaan paradigma tentang media komunitas. Sebagaimana
terurai pada bab terdahulu, idealnya media komunitas adalah media dari, oleh,
dan untuk komunitas itu. Warga masyarakat yang wilayahnya masuk coverage
area siaran televisi komunitas, mustinya dilibatkan peran sertanya. Setidaknya,
isi siaran mencerminkan kebutuhan informasi warga sekitar sekaligus sesuai
dengan entitas lokal. Akan tetapi kenyataan di lapangan tidak bisa dihindari,
dimana banyaknya televisi komunitas yang lahir karena “proyek” dan belum
terpikir sebelumnya bagimana menjadikannya sebagai media komunitas yang
bermanfaat bagi warga setempat. Menurut penulis, persoalan paradigma sangat
mendasar dan bagi pengelola televisi komunitas menjadi penting untuk segera
dituntaskan. Sebab, jika tidak dipahami soal yang mendasar tersebut, akan
mereduksi nilai televisi komunitas dalam pengembangan demokratisasi
penyiaran di Indonesia.
Kedua, resource. Sebagian besar pengelola televisi komunitas tidak
memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang dunia broadcasting khususnya
pertelevisian. Sehingga menjadi cukup tertatih ketika harus memproduksi siaran
sendiri. Persoalan lain adalah kebutuhan biaya yang cukup dalam pengelolaan
televisi komunitas, khususnya dalam hal produksi siaran. Untuk itu, harus
dilakukan penguatan kapasitas yang partisipatif secara berkesinambungan bagi
pengelola televisi komunitas. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan biaya
produksi, perlu strategi mencari dana (fund raising) demi menjaga kemandirian
dan keberlajutan (sustainability) lembaga penyiaran komunitas ini.
Ketiga, aspek teknis. Perangkat siar (pemancar) yang digunakan oleh
sebagian pengelola televisi komunitas di Indonesia adalah perangkat rakitan
(bikinan sendiri) bukan bermerk (pemancarimpor dari pabrik) sehingga tidak
memenuhi kualifikasi teknis (standarisasi) yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Postel), Depkominfo. Untuk itu diperlukan
langkah advokasi yang sinergi antara pengelola televisi komunitas dengan
21
aktivis penyiaran, akademisi, dan kalangan organisasi masyarakat sipil agar
regulasi Postel tidak mempersulit keberadaan televisi komunitas.
Keempat, regulasi. Selain regulasi pada aspek teknis sebagaimana pada
paragraf di atas, peraturan pemerintah yang mengatur keberadaan lembaga
penyiaran komunitas (PP No 51 Tahun 2005) belum cukup akomodatif bagi
televisi komunitas. Daya pancar yang terbatas misalnya, hanya relevan
diberlakukan di daerah padat penduduk, namun menjadi tidak pas jika untuk
daerah yang jarang penduduknya (pedesaan di luar pulau Jawa). Bisa
dibayangkan, jika aturan ini juga berlaku di Papua misalnya, maka layanan
televisi komunitas hanya bisa dinikmati oleh segelintir warga karena jarak
persebaran penduduk yang saling berjauhan. Persoalan regulasi lainya adalah
tentang pembagian kanal frekuensi bagi televisi komunitas. Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 tentang rencana induk (masterplan)
frekuensi tidak menjelaskan alokasi frekuensi bagi televisi komunitas. Bila
aturan (regulasi) tidak dibenahi, ke depan akan menimbulkan persoalan karena
kecenderungan pertumbuhan televisi komunitas akan semakin banyak dan
beragam. (Budhi, 2008)
Tak kalah pentingnya adalah mendorong televisi komunitas sebagai alat
untuk perubahan sosial. Gagasan ini mungkin terkesan terlalu mengada-ada.
Akan tetapi harus disadari bahwa televisi komunitas hanyalah sekedar alat yang
bisa digunakan siapa saja dan untuk apa saja. Seperti halnya media pada
umumnya, televisi komunitas bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa bermanfaat
baik karena dimanfaatkan dengan baik, namun disisi lain bisa bermanfaat jelek
akibat ditunggangi kepentingan buruk. Karenanya harus ditumbuhkan
semangat pemanfaatan televisi komunitas untuk kemaslahatan bagi warga
komunitas itu sendiri. Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan yang
mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan
perilaku masyarakat. Tentu perubahan tersebut beranjak menuju perubahan
kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat itu sendiri.
22
Bahan Bacaan
1. MC Quail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta 1996.
2. Malik, Dedy Jamaluddin, Jurnalisme Islam dan Ukhuwah Islamiyah,
Bentang, Yogakarta, 1997.
3. Wibowo, Fred, Dasar-Dasar Produksi Program Televisi, Gramedia, Jakarta
1997.
4. Dewi, Liza Dwi Ratna, Media Massa dalam Pendekatan ekonomi Politik,
Jurnal Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta 2007.
5. Sudibyo, Agus, Poitik Media dan Pertarungan Wacana, LKiS, Yogyakarta,
2001.
6. Berita Kompas 30/5/2007, TV Komunitas Bebaskan Ketertinggalan
Informasi.
7. Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2003.
8. Peraturan Pemerintah No 51 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas Tahun
2005.
9. Keputusan Menteri Perhubungan No 76 Tahun 2003 Tentang Rencana Induk
(masterplan) frekuensi penyelenggaraan telekomuniasi khusus untuk
keperluan televise analog pada pita ultra high frekuensi (UHF).
10. Memahami Video Komunitas, di http://www.kawanusa.co.id
11. Hermanto, Budhi. 2007. Televisi Komunitas: Media Pemberdayaan
Masyarakat. Dalam Jurnal Komunikasi Volume 2, Nomor 1, 2007.
Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.
12. Hermanto, Budhi. 2008. Televisi Komunitas Sebuah Media Alternatif.
http://www.kabarindonesia.com, 08-Mar-2008.
13. http://www.kpi.go.id
*) Artikel ini bahan penulisan buku “Televisi Komunitas” yang akan diterbitkan
oleh Combine Resource Institution bekerjasama dengan Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Indonesia, dan Fakultas Film dan Televisi Institut
Kesenian Jakarta.
23
Profil Penulis :
Budhi Hermanto. Lulusan Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang melakukan penelitian “Studi
Analisis Isi Pemberitaan KOMPAS dan REPUBLIKA, tentang Konflik Sosial di
Maluku pada Tahun 1999” sebagai tugas akhir penulisan skripsi. Selama kuliah
aktif sebagai penggiat organisasi esktra dan intra kampus. Pernah menjabat
sebagai Ketua Umum BP Senat Mahasiswa UMY pada tahun 1997 yang
kemudian mendorong dirinya menjadi aktivis organisasi non pemerintah
(Ornop). Beberapa lembaga Ornop menjadi ruang aktivitas pria kelahiran
Banjarnegara, 28 April 1976, yakni; Direktur Eksekutif Indonesian Society for
Religion and Culture Yogyakarta (1999-2000), mendirikan Yayasan Mapel dan
menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja (2000-sekarang), Sekjend ParWI
Banjarnegara (2000-2001), Deputy Direktur Eksekutif Yayasan Nurani Dunia
Jakarta (2001-2004), ikut mendirikan The Public Sphare Institut Jakarta (2003),
Redaktur free Tabiod Lintas Jakarta (2002-2004), Program Manager YPPSE
Banjarnegara (2004-2005), Program Manager ARRNet-Combine (2005-2006), dan
Program Manager pada Combine Resource Institution, Yogyakarta (2007-
sekarang).
Aktif dalam pengembangan media komunitas sejak tahun 1997, dan menjadi
Koordinator Jaringan Radio Komunitas Jawa Tengah (2004-sekarang), anggota
Majelis Jaringan Radio Komunitas Indonesia (2004-sekarang), Anggota Pokja TV
Komunitas Indonesia (2007-sekarang). Menjadi fasilitator dan konsultan
pengembangan media komunitas pada beberapa lembaga. Aktif menulis artikel
pada beberapa majalah, koran, jurnal dan media online.

TIPOGRAFI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Priscilia Yunita Wijaya)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
47
TIPOGRAFI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
Priscilia Yunita Wijaya
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Di dalam era informasi saat ini kehadiran desain komunikasi visual sangatlah dibutuhkan.
Sesuai dengan namanya, desain komunikasi visual mempunyai tujuan untuk
mengkomunikasikan pesan yang dapat ditangkap oleh massa dengan benar. Salah satu
elemen desain yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan suatu desain dalam
berkomunikasi dengan masyarakatnya adalah tipografi. Tulisan ini membahas bagaimana
dan apa peran tipografi tersebut dalam desain komunikasi visual.
ABSTRACT
The presence of Visual Communication Design is needed especially in today’s information
era. Just as its sound, the function and goal of visual communication design is to
communicate to its mass audience with the right perception. One of its elements that
determine the effectiveness of a design is typography. This paper is going to talk about the
role of typography and how it effects a design in visual communication design.
Kata kunci : tipografi, desain komunikasi visual
DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai kebutuhan untuk hidup bersama dan
berkomunikasi dengan sesama. Komunikasi tersebut dapat dilaksanakan secara lisan,
visual, atau gabungan keduanya. Tanda-tanda lalu lintas, papan nama jalan, tiket bis,
majalah, koran, papan reklame, label, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh dari
berbagai bentuk komunikasi secara visual yang kita temui sehari-hari.
Desain komunikasi visual adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan ide,
cerita, konsep, dan informasi melalui penglihatan. R. Buckminster Fuller, seorang desainer
dan arsitek yang menciptakan geodesic dome, mengatakan bahwa sebuah desain
komunikasi harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tidak hanya untuk memuaskan
keinginan daripada desainer tersebut sendiri. 1 Dengan demikian, maka sebuah karya desain
1 Labuz, Ronald, Contemporary Graphic Design, Van Nostrand Reinhold, New York, 1991, hal 121
NIRMANA Vol. 1 No. 1 JANUARI 1999
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
48
komunikasi visual dapat dikatakan berhasil apabila ide, cerita, atau informasi yang ingin
disampaikan oleh karya tersebut dapat diterima oleh masyarakat (pengamat) dengan tepat.
Oleh karena itu, seorang desainer komunikasi visual harus dapat mengerti cara berpikir dan
reaksi kebanyakan orang (atau pengamat yang dituju). Persepsi pengamat lebih
dipentingkan daripada persepsi sang desainer.
Pada iklan papan sabun Lux, pengamat dihadapkan dengan artis yang cantik dan
lembut. Tanpa adanya kata “sabun Lux” atau logotype “Lux” dan keterangan lainnya pada
iklan tersebut, pengamat dapat mengartikannya sebagai iklan promosi bagi sang artis dan
bukan iklan sabun Lux. Contoh lain ialah pada brosur yang banyak ditemui di biro
perjalanan. Tanpa adanya keterangan mengenai tempat rekreasi yang ditawarkan, tempat
pendaftaran, jadwal perjalanan, dan lain-lain maka brosur tersebut dapat dianggap sebagai
kumpulan foto tempat-tempat rekreasi dan tidak membantu memberikan informasi bagi
pengamat.
Pentingnya kesamaan persepsi antara desainer dan pengamat dalam desain
komunikasi visual membuat tipografi sangat berperan, khususnya dalam bidang
penyampaian informasi seperti dalam brosur, poster, sampul buku, dan lain-lain. Disinilah
sebenarnya yang membedakan desain komunikasi visual dengan seni murni dan desain
yang lain; desain komunikasi visual harus dapat berkomunikasi dengan pengamatnya di
dalam persepsi yang sama.
TIPOGRAFI
Dalam desain komunikasi visual tipografi dikatakan sebagai ‘visual language’,
yang berarti bahasa yang dapat dilihat. Tipografi adalah salah satu sarana untuk
menterjemahkan kata-kata yang terucap ke halaman yang dapat dibaca. Peran dari pada
tipografi adalah untuk mengkomunikasikan ide atau informasi dari halaman tersebut ke
pengamat. Secara tidak sadar manusia selalu berhubungan dengan tipografi setiap hari,
setiap saat. Pada merek dagang komputer yang kita gunakan, koran atau majalah yang kita
baca, label pakaian yang kita kenakan, dan masih banyak lagi. Hampir semua hal yang
berhubungan dengan desain komunikasi visual mempunyai unsur tipografi di dalamnya.
Kurangnya perhatian pada tipografi dapat mempengaruhi desain yang indah menjadi
kurang atau tidak komunikatif.
TIPOGRAFI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Priscilia Yunita Wijaya)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
49
Untuk membuat desain yang indah dan berkomunikasi, tipografi tidak dapat
dipisahkan dari elemen desain. Dalam membuat perencanaan suatu karya desain,
keberadaan elemen tipografi sudah harus selalu diperhitungkan karena dapat mempengaruhi
susunan hirarki dan keseimbangan karya desain tersebut.
Pengertian tipografi yang sebenarnya adalah ilmu yang mempelajari bentuk huruf;
dimana huruf, angka, tanda baca, dan sebagainya tidak hanya dilihat sebagai simbol dari
suara tetapi terutama dilihat sebagai suatu bentuk desain. Huruf ‘O’, contohnya, tidak saja
terbaca sebagai huruf ‘O’, tetapi juga terbaca sebagai bentuk lingkaran yang
mempengaruhi bidang suatu karya desain. Dimana dan bagaimana
seorang desainer meletakan huruf ‘O’ tersebut dapat mempengaruhi
legibilitas dan keseimbangan karya desain tersebut.
Sebagai seorang visual komunikator, desainer komunikasi
visual harus dapat membaca dan mengartikan bentuk atau gambaran.
Dalam perannya sebagai tipografer, seorang desainer harus dapat
mengetahui bentuk type yang bagaimana yang dapat menunjang arah desain dan
meramalkan reaksi daripada pengamatnya. Bentuk huruf italic dengan warna emas,
misalnya, sangat baik untuk digunakan pada sampul buku roman, dan sebaliknya bentuk
huruf roman, san serif, bold, sangat cocok untuk posterposter
politik.
Sejarah Tipografi
Tipografi, sebagai salah satu metode yang menterjemahkan kata-kata menjadi
bentuk atau gambaran sudah digunakan sejak jaman dahulu. Dimulai sejak awal jaman
lukisan di gua (early cave drawing age), dimana nenek moyang kita menggambarkan
pengalaman mereka di dinding gua. Pada awalnya, yang digunakan adalah pictogram, yaitu
gambar yang mewakili bentuk benda yang dimaksud. Secara perlahan, berdasarkan
asosiasi, beberapa pictogram berubah menjadi ideogram, yaitu simbol yang bentuknya tidak
persis mewakili bentuk yang dimaksud sehingga dapat digunakan untuk berbagai arti.
Ideoram berkembang sehingga mempunyai gaya penulisan yang tertentu dan mulai
mewakili bunyi suara. Karena berkembangnya peradaban manusia, maka berkembang pula
O
Kasih
Protes
NIRMANA Vol. 1 No. 1 JANUARI 1999
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
50
kosa kata dan kepentingan untuk menyimpan data. Seiring dengan perkembangan tersebut,
kecepatan dalam menulis juga berkembang sehingga bentuk individual simbol juga
semakin sederhana dan abstrak. Pada awal tahun 2800 sebelum Masehi, bangsa Sumaria
telah mempunyai sistem menulis dengan formal, abstrak simbol, yang disebut cuneiform,
yang kemudian menjadi basis daripada modern alphabet yang kita gunakan. Demikianlah
simbol-simbol tersebut terus berkembang dan bertambah sesuai dengan bunyi suara, dan
semakin abstrak bentuknya.
Melalui gerakan penyebaran kekuasaaan dan agama, bangsa Romawi juga
menyebarkan sistem penulisan terutama untuk menyimpan peristiwa dan ceritera, dimana
calligrafi menjadi populer dan berkembang. Kebutuhan membaca dan menulis juga
semakin meningkat.
Peran tipografer.
Sampai pada jaman tersebut, tipografi sebagai bidang yang berfokus pada bentuk
huruf belum populer. Perkembangan tipografi mulai menjadi populer dimulai pada abad ke
lima belas dengan ditemukannya sistem pencetakan dengan menggunakan ‘movable type’.
Pada saat yang bersamaan, keinginan dan kemampuan membaca masyarakat juga
meningkat, membuat kebutuhan akan buku, surat kabar, dan lain-lain juga meningkat. Pada
saat inilah profesi tipografer mulai muncul. Fungsi daripada tipografer pada saat itu adalah
mengawasi keseluruhan proses produksi termasuk di dalamnya pembuatan huruf dan
pencetakannya.
Revolusi Industri membawa pengaruh terhadap kecepatan dan spesialisasi dalam
segala bidang. Sistem percetakan yang tadinya manual berubah menjadi mekanik.
Spesialisasi pekerjaan semakin berkembang, muncul spesialisasi pekerjaan seperti desainer
bentuk huruf (type designer), pengatur huruf (typesetter), pencetak (printers), dan lain
sebagainya. Desainer komunikasi visual dan tipografer adalah dua profesi yang berbeda,
walau fungsinya dalam suatu karya desain saling terikat. Dalam sebuah karya desain,
desainer komunikasi visual memberikan spesifikasi type yang dia inginkan, dan typesetter
akan melakukan penyusunan type tersebut bagi sang desainer. Segi positif dari spesialisasi
ini, setiap ahli semakin ahli dan bertanggung jawab pada bidangnya. Pada masa-masa ini
dapat dilihat penggunaan type yang lebih memperhatikan keindahan bentuk huruf.
TIPOGRAFI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Priscilia Yunita Wijaya)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
51
Tehnologi semakin berkembang sehingga ditemukannya DTP (desktop publishing),
yang memberikan kesempatan bagi para desainer untuk menyusun type sendiri; desainer
komunikasi visual juga berfungsi sebagai tipografer. Segi positifnya adalah pada saat
tersebut terbuka kesempatan untuk bereksperimen dengan huruf dan terbuka kebebasan
menggunakan huruf dengan lebih leluasa.
Pengaruh dari kemajuan teknologi tersebut membawa dampak pada penggunaan
illustrasi dan foto pada karya desain. Kemampuan mencetak gambar dengan kualitas yang
baik membuat banyak desainer komunikasi visual tergerak untuk menggunakan gambar
sebagai inti dari karya desainnya dan kecenderungan mengesampingkan tipografi. Selain
itu, kemudahan dalam proses produksi desain melahirkan banyak desainer amatir yang
kurang mengerti prinsip-prinsip desain dan pentingnya tipografi. Akibatnya, banyak kita
temui desain sampul majalah, poster, brosur, yang penyusunan hurufnya tidak sejalan
dengan tema dan gambar yang digunakan, sehingga terdapat kesan bahwa huruf-huruf
tersebut asal diletakan saja.
Desain Tipografi
Dalam suatu karya desain, semua elemen yang ada pada void (ruang tempat
elemen-elemen desain disusun) saling berkaitan. Tipografi sebagai salah satu elemen desain
juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh elemen desain yang lain, serta dapat
mempengaruhi keberhasilan suatu karya desain secara keseluruhan. Penggunaan tipografi
dalam desain komunikasi visual disebut dengan desain tipografi.
Tulisan tangan adalah sederetan tanda-tanda yang mempunyai arti dan dibuat
dengan tangan. Komponen dasar daripada tipografi adalah huruf (letterform), yang
berkembang dari tulisan tangan (handwriting). Berdasarkan ini, maka dapat disimpulkan
bahwa tipografi adalah sekumpulan tanda-tanda yang mempunyai arti. Penggunaan tandatanda
tersebut baru dapat dikatakan sebagai desain tipografi apabila digunakan dengan
mempertimbangkan graphic clarity dan prinsip-prinsip tipografi yang ada.
Ada empat buah prinsip pokok tipografi yang sangat mempengaruhi keberhasilan
suatu desain tipografi yaitu legibility, clarity, visibility, dan readibility.
Legibility adalah kualitas pada huruf yang membuat huruf tersebut dapat terbaca.
Dalam suatu karya desain, dapat terjadi cropping, overlapping, dan lain sebagainya , yang
dapat menyebabkan berkurangnya legibilitas daripada suatu huruf. Untuk menghindari hal
NIRMANA Vol. 1 No. 1 JANUARI 1999
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
52
ini, maka seorang desainer harus mengenal dan mengerti karakter daripada bentuk suatu
huruf dengan baik. Selain itu, penggunaan huruf yang mempunyai karakter yang sama
dalam suatu kata dapat juga menyebabkan kata tersebut tidak terbaca dengan tepat, seperti
contoh di bawah ini.
fail Diambil dari Typographic Design: Form and Communication
tail Huruf ‘f’, ‘t’, ‘j’, mempunyai karakteristik yang sama sehingga ada
jail kemungkinan terbaca dengan kurang tepat
Diambil dari Typographic Form: Form and Communication
Apabila menggunakan copping, bagian atas daripada huruf lebih dapat terbaca
daripada bagian atasnya.
Readibility adalah penggunaan huruf dengan memperhatikan hubungannya dengan
huruf yang lain sehingga terlihat jelas. Dalam menggabungkan huruf dan huruf baik untuk
membentuk suatu kata, kalimat atau tidak harus memperhatikan hubungan antara huruf
yang satu dengan yang lain. Khususnya spasi antar huruf. Jarak antar huruf tersebut tidak
dapat diukur secara matematika, tetapi harus dilihat dan dirasakan. Ketidak tepatan
menggunakan spasi dapat mengurangi kemudahan membaca suatu keterangan yang
membuat informasi yang disampaikan pada suatu desain komunikasi visual terkesan kurang
jelas. Huruf-huruf yang digunakan mungkin sudah cukup legible, tetapi apabila pembaca
merasa cepat capai dan kurang dapat membaca teks tersebut dengan lancar, maka teks
tersebut dapat dikatakan tidak readible. Pada papan iklan, penggunaan spasi yang kurang
tepat sehingga mengurangi kemudahan pengamat dalam membaca informasi dapat
mengakibatkan pesan yang disampaikan tidak seluruhnya ditangkap oleh pengamat.
Apabila hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa karya desain komunikasi visual
tersebut gagal karena kurang komunikatif. Kerapatan dan kerenggangan teks dalam suatu
desain juga dapat mempengaruhi keseimbangan desain. Teks yang spasinya sangat rapat
akan terasa menguasai bidang void dalam suatu bentuk, sedangkan teks yang berjarak
sangat jauh akan terasa lebih seperti tekstur.
TIPOGRAFI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Priscilia Yunita Wijaya)
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
53
Prinsip yang ketiga adalah Visibility. Yang dimaksud dengan visibility adalah
kemampuan suatu huruf, kata, atau kalimat dalam suatu karya desain komunikasi visual
dapat terbaca dalam jarak baca tertentu. Fonts yang kita gunakan untuk headline dalam
brosur tentunya berbeda dengan yang kita gunakan untuk papan iklan. Papan iklan harus
menggunakan fonts yang cukup besar sehingga dapat terbaca dari jarak yang tertentu.
Setiap karya desain mempunyai suatu target jarak baca, dan huruf-huruf yang digunakan
dalam desain tipografi harus dapat terbaca dalam jarak tersebut sehingga suatu karya desain
dapat berkomunikasi dengan baik.
Prinsip pokok yang terakhir adalah clarity, yaitu kemampuan huruf-huruf yang
digunakan dalam suatu karya desain dapat dibaca dan dimengerti oleh target pengamat
yang dituju. Untuk suatu karya desain dapat berkomunikasi dengan pengamatnya, maka
informasi yang disampaikan harus dapat dimengerti oleh pengamat yang dituju. Beberapa
unsur desain yang dapat mempengaruhi clarity adalah, visual hierarchy, warna, pemilihan
type, dan lain-lain.
Keempat prinsip pokok daripada desain tipografi tersebut di atas mempunyai tujuan
utama untuk memastkan agar informasi yang ingin disampaikan oleh suatu karya desain
komunikasi visual dapat tersampaiakn dengan tepat. Penyampaian informasi tidak hanya
merupakan satu-satunya peran dan digunakannya desain tipografi dalam desain komunikasi
visual. Sebagai seuatu elemen desain, desain tipografi dapat juga membawa emosi atau
berekspressi, menunjukan pergerakan elemen dalam suatu desain, dan memperkuat arah
daripada suatu karya desain seperti juga desain-desain elemen yang lain. Maka dari itu,
banyak kita temui desain komunikasi visual yang hanya menggunakan tipografi sebagai
elemen utamanya, tanpa objek gambar.
KESIMPULAN
Penggunaan desain tipografi dalam sebuah karya desain komunikasi visual dapat
memperkuat keberhasilan karya tersebut dalam berkomunikasi, namun dapat juga
menjatuhkan kualitas desain apabila tidak dipergunakan dengan tepat.
Melihat begitu besarnya pengaruh desain tipografi di dalam suatu karya desain
komunikasi visual, maka sangatlah penting bagi para desainer untuk mengerti tentang
tipografi dan bagaimana cara menggunakannya dalam suatu karya desain dengan baik dan
benar.
NIRMANA Vol. 1 No. 1 JANUARI 1999
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
54
Kesensitifan seorang desainer, yang pada waktu menggunakan elemen tipografi
juga berfungsi sebagai seorang tipografer, terhadap bentuk dan penggunaan tipografi
sangatlah diperlukan. Kebebasan dalam menggunakan elemen tipografi, yang melanggar
prinsip pokok dari desain tipografi dapat mengurangi kemampuan sebuah desain untuk
berkomunikasi. Di lain pihak, kehadiran desain tipografi yang tidak senada dengan image
atau gambar dan arah desain yang dituju, meskipun sesuai dengan prinsip tipografi yang
ada juga akan mengganggu keseimbangan dalam sebuah desain.
Terganggunya keseimbangan dan kemampuan penyampaian informasi dalam
sebuah desain merupakan dua hal yang sangat fatal. Keseimbangan dan informasi, harus
dapat berjalan bersama. Tanpa adanya keseimbangan dalam karya desain membuat desain
tersebut kurang mutlak dan akan mengganggu pengamatan, sebaliknya sebuah desain yang
indah dan seimbang jugalah tidak dapat dikatakan berhasil apabila pengamat tidak mampu
memperoleh informasi apapun darinya.
Seorang desainer komunikasi visual harus mampu dan mempunyai kesensitifan
dalam mengintegrasi desain elemen yang lain seperti gambar, warna garis-garis dan lain
sebagainya dengan desain tipografi. Kunci keberhasilan suatu karya desain komunikasi
visual terletak pada kmampuan suatu karya desain menyampaikan informasi dengan tepat
secara kreatif. Tipografi sebagai bentuk visual dari sebuah komunikasi merupakan sarana
penyampaian informasi memegang peranan yang sangat penting dalam desain komunikasi
visual.
KEPUSTAKAAN
Cotton, Bob, The New Guide to Graphic Design, Oxford, 1990.
Labuz, Ronald, Contemporary Graphic Design, Van Nostrand Reinhold, New York,1991.
Rob carter, Ben Day, Philip Meggs, Typographic Design: Form and Communication, Van
Nostrand Reinhold, New York, 1993.
Carter, John, Typography 223 A Notes, California State University, Fullerton, 1993.
Abbey, Norm, Typographic Design Art 50 A Notes, Pasadena City College, Pasadena,
1992.
Aldrich-Ruenzel, dan Fennel, Designer’s Guide to Typography, Step-By-Step Publishing,
New York, 1991.

Gambar dan Huruf dalam Komunikasi

Landasan Komunikasi

Komunikasi bertujuan untuk mentransfer pesan dari satu pihak ke yang lain, agar dimengerti dan ditanggapi, hingga terjadi hubungan aksi-reaksi antar keduanya. Untuk itu ada beberapa hal yang dipersyaratkan:

Kesinambungan alam pikiran: pengirim menyampaikan pesan dengan mempertimbangkan cara berpikir, adat kebiasaan dan budaya masyarakat yang menerima pesan. Ini merupakan jembatan yang menyamakan “frekuensi”(seperti halnya pada radio) antara pengirim dan penerima.

Kesamaan bahasa: keduanya menggunakan bahasa yang sama-sama dimengerti. Untuk bahasa verbal mungkin lebih mudah menentukannya. Bahasa Indonesia dimengerti orang Indonesia pada umumnya dan bersifat resmi. Menggunakan bahasa Daerah ataupun bahasa slank dimengerti dan diminati sekelompok tertentu saja. Tapi secara emosional lebih terasa dekat bagi penerima pesan. Meskipun bahasa non-verbal sering dianggap lebih universal (mendunia), namun tak sepenuhnya demikian. Tiap kelompok masyarakat punya “bahasa non verbal” yang khusus dimengerti kelompoknya sendiri, misalnya gerak tubuh. Diagram hanya bisa dimengerti oleh orang yang telah belajar cara membacanya.

Kesamaan landasan interes: menyampaikan pesan yang merupakan minat atau masalah yang merupakan salahsatu bagian persoalan penerima pesan. Sering masalah yang akan disampaikan bukan minat penerima pesan. Disini dibutuhkan kecerdasan pengirim pesan untuk mengolah agar menarik: bagaimana agar masalah tersebut diminati penerima pesan.

Ketajaman menyatakan tujuan: akhirnya sebuah pesan menghendaki sesuatu yang dilakukan penerimanya: terpengaruh, bereaksi, komentar positif, setuju, melaksanakan anjuran, melakukan sesuatu, membeli…Karena itu pengirim perlu merancang suatu pesan yang mengarahkan penerima ke tujuan pesan tersebut. Dalam pesan informatif, tujuan tersebut jelas dinyatakan. Tapi dalam pesan yang membujuk/promosi/iklan, tujuan tersebut harus diolah sedemikian rupa hingga tak berkesan memaksa.

Ke-empat butir di atas merupakan bagian terpenting dari faktor yang mempengaruhi keberhasilan komunikasi di samping banyak faktor-faktor lain.

Gambar dan Huruf

Komunikasi melalui media grafis menggunakan unsur gambar dan atau huruf-huruf. Keduanya bisa dipakai bersama atau berdiri sendiri. Ada yang cukup dengan gambar sudah dimengerti (rambu lalu-lintas); ada juga yang menggunakan kombinasi huruf dan gambar. Komik menekankan pada gambar dengan sedikit huruf. Novel tak menyertakan gambar dan menekankan pada penggunaan huruf. Dari segi visual, yang diolah pada novel adalah pemilihan jenis huruf, susunan huruf dan tata letak.

Dalam merancang media grafis, hal yang biasanya jadi pertimbangan adalah:
Kepentingan gambar dan huruf: seberapa banyak gambar yang harus ditampilkan, berapa panjang teks yang dibutuhkan. Makin banyak gambar dan teks, makin rumit mengerjakannya, belum tentu juga efektif hasilnya. Baik pada huruf maupun gambar berlaku prinsip: efisien dan efektif. Menyampaikan secara efisien dengan hasil yang tetap efektif.

Mana lebih utama, gambar atau huruf? Ada hal yang lebih mudah dikatakan lewat gambar, ada yang harus disampaikan secara tertulis. Dalam kasus tertentu, misalnya cara menggosok gigi, lebih mudah diterangkan lewat gambar daripada tulisan. Pada kasus lain huruf lebih dapat menerangkan sesuatu, terutama bila berupa pengertian tentang istilah dan hal yang sifatnya umum. Bila rancangan berupa folder atau poster sebaiknya dihindari cara setengah-setengah, pilih dominasi pada gambar atau pada huruf. Bila bentuknya buku/buklet, maka halaman yang bergambar sebaiknya didominasi oleh gambar. Halaman teks tulisan sedikit saja gambar, atau tak bergambar.

Huruf dalam pengertian grafis perlu dimngerti sebagai unsur visual. Dalam huruf
Gambar seperti apa? Dari sisi gambar, kekuatannya adalah bahwa gambar dibaca relatif lebih universal. Gambar juga dibaca sekaligus tak berurutan seperti huruf. Tapi pilihan pada gambar bisa macam-macam: foto berwarna, foto hitam-putih, gambar tangan berwarna atau hitam-putih, baik realistismaupun dekoratif/stilasi, gambar kartun, gambar diagram? Tiap pilihan punya spesifikasinya sendiri.

Fotografi menampilkan sesuatu yang (seakan) fakta. Kerusakan gigi menjadi lebih memukau dalam bentuk potret. Tentu harus dilakukan pemotretan yang baik untuk menonjolkan apa yang ingin disampaikan. Berwarna bila pintar memotretnya bisa lebih menarik. Foto hitam-putih menekankan pada bentuk, kadang juga bisa lebih dramatis.

Gambar tangan lebih bebas mereka-reka suatu kejadian, bisa memberi tekanan pada apa yang akan disampaikan, menghilangkan yang tak perlu. Tapi bila gambarnya tak bagus, seluruh usaha jadi rusak. Kesannya kemudian jadi sembarangan, tak serius. Gambar berwarna memberi suasana yang lebih menarik, tapi biaya cetaknya tentu lebih besar. Hitam-putih pun bisa baik bila gambarnya bagus, tepat sesuai pesannya.

Gambar kartun kadang menolong suasana menjadi lebih ringan, mudah diterima, lucu. Tapi kita perlu hati-hati dalam memilihnya karena: tak semua informasi bisa disampaikan secara lucu. Untuk informasi penting/ kritis/ serius sebaiknya tak digunakan kartun. Pun bila akan menggunakan lelucon, perlu diperhatikan kelucuan yang masih bisa diterima umum, tak menyinggung perasaan maupun norma. Hal ini menyangkut kelucuan dan bentuk gambarnya.

Diagram memang mudah menerangkan sesuatu yang kalau menggunakan kata-kata jadi rumit dan panjang. Banyak hal yang sangat mudah diterangkan dengan diagram, misalnya penampang gigi.Tapi kita harus selalu ingat bahwa kita bisa membaca diagram karena belajar (di sekolah). Tak semua bentuk diagram dimengerti masyarakat. Hal yang harus diingat juga, diagram pada dasarnya adalah informasi obyektif, biasanya memang tak menarik bagi masyarakat awam. Makin banyak kita tampilkan diagram, makin kecil minat penerima melihat pesan kita. Gunakan diagram bila memang perlu. Perlu diolah cara menampilkannya agar pelihat mau membacanya.

Dengan demikian memilih gambar menjadi hal penting. Ini menyangkut (1) gambar apa yang perlu ditampilkan (2) gaya gambar yang dipilih, (3) cara menampilkan: pilihan obyek, sudut pandang dll. Dan dari semua pertimbangan jangan lupa memikirkan dengan teknik cetak apa gambar tersebut dilaksanakan…Selanjutnya mengenai gambar akan dibahas oleh Pak Iman Sudjudi setelah sesi ini.

Olahan huruf dalam pengertian grafis perlu dimengerti sebagai unsur visual. Dalam huruf memang terkandung dua hal sekaligus;(A) sesuatu yang terbaca verbal, ditulis dengan tinta apapun dan huruf seperti apapun kata “aku” diartikan sebagai aku, saya. (B) sesuatu yang terlihat, visual. Kata “aku” yang ditulis tebal kesannya berat, ditulis miring kesannya sopan. Ada sesuatu tersirat disampaikan melalui bentuk visual huruf. Dalam rancangan grafis segi visual ini yang menjadi pokok olahan.

Pilihan bentuk huruf merupakan masalah pertama yang dihadapi perancang. Ada sekitar 70.000 bentuk huruf yang bisa dipilih untuk menyesuaikan dengan maksud pesan. Perbendaharaan ini cukup untuk menyampaikan berbagai nuansa pesan. Secara umum orang memilih huruf yang resmi untuk folder penyuluhan, dan huruf miring untuk undangan nikah. Penggunaan huruf besar semua mengesankan perintah / keras. Huruf kecil lebih berkesan sopan. Huruf yang menggunakan kait kesannya konvensional. Huruf tanpa kait kesannya bersih, Huruf tulis tangan kesannya bersahabat / manusiawi, meski tergantung cara menulisnya. Kata “OBRAL” ditulis tangan agar kesannya tergesa-gesa.

Judul dan teks: untuk huruf judul banyak huruf yang bisa dipilih sesuai dengan karakter pesan yang disampaikan, bisa tegas, lucu, sopan, dingin, hangat. Tapi untuk huruf teks perlu dipertimbangkan huruf yang mudah dibaca dalam ukuran kecil dan naskah yang panjang, karena sifatnya fungsional. Yang kemudian dipikirkan adalah keserasian huruf judul dengan huruf teks tersebut, dan juga dengan gaya gambar yang dipilih. Kemudian ada pula huruf keterangan foto, huruf untuk keterangan lain, catatan kaki. Sebaiknya tak memilih terlalu banyak jenis huruf yang berbeda agar tak terlalu ramai. Tetapi memilih hanya satu saja untuk semua mungkin membosankan. Kepintaran kita adalah, memilih secukupnya yang serasi.

Naskah yang terlalu banyak judulnya kesannya ramai. Hal ini diatasi dengan memilih huruf judul yang tak terlalu menonjol. Teks yang telalu panjang melelahkan pembaca awam. Biasanya hal ini diatasi dengan memperbesar alinea dan atau memberi initial di awal huruf beberapa alinea.

Ada pilihan teks agar pada kedua bagian rata (flush-paragraph, justified). Cara ini lebih berkesan bersih. Tapi kadang jarak hurufnya tak sama. Memilih rata kiri (ragged Left, left) menyebabkan bagian kanan tak rata. Kadang ini menarik, meninggalkan ruang kosong untuk bernafas, asal tak terlalu ramai.

Huruf memang merupakan unsur yang perlu diperhatikan dalam menyerasikan dengan pesan yang akan disampaikan. Selain itu huruf membangun karakter pesan kita melalui kerjasama dengan tataletak dan pilihan gaya gambar yang ditampilkan.

Demikian semoga masukan singkat ini berguna bagi pemahaman tentang peranan gambar dan huruf dalam rancangan grafis.

ETIKA KOMUNIKASI, Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi
I. PENDAHULUAN
Media mengemban tugas mulia yakni
mendidik masyarakat. Namun realitas berkata lain. Media telah terseret dalam struktur ekonomi dan logika pasar. Ia nyaris telah sepenuhnya menjadi salah satu alat produksi. Keuntungan dan pragmatisme ekonomi dan pasar membuat media nyaris tak mampu berkelit untuk menunjukkan idealismenya. Gilirannya, keberhasilan media diukur hanya dengan keberhasilannya menghasilkan keuntungan. Dalam dunia pertelevisian misalnya tingginya rating yang berarti tingginya pemasukan uang. Media juga terseret dalam kultis teknologi. Saudara kembar struktur ekonomi dan pasar.
Jika kita prihatin terhadap realitas menyimpang namun telah menjadi kaprah ini mau tak mau kita harus rela memikirkan sebuah etika komunikasi. Etika yang bukan hanya bersifat deontologist bagi jurnalis, namun juga undang-undang atau hokum yang melindungi dan menjaga masyarakat. Etika ini diharapkan akan melindungi public dari kekerasan, manipulasi, pornografi dan segala bentuk “demonist” dari media.
II. MENGAPA PERLU ETIKA KOMUNIKASI?
Mengapa perlu sebuah etika? Kini informasi yang disajikan oleh media telah menjadi komoditi dan mimetisme. Budaya baru terproduksi oleh media, pun integrasi social masyarakat terubah oleh media. Media dalam dilema, antara tugas mulia di satu sisi, dan pemenuhan sebagai alat produksi ekonomi di sisi lain. Ia perlu membangun citra sebagai sarana yang mesyarakat membutuhkannya di satu sisi, di sisi lain ia perlu mengejar target untuk menjadi alah hebat dalam budaya ekonomi. Dalam pada itu, yang menggelisahkan adalah, ketiadaan perlawanan terorganisir dan bentuk baru sensor yang solid dalam masyarakat. Etika media perlu karena media punya dampak yang dahsyat dalam masyarakat, karena masyarakat harus dilindungi dan mengurangi dampak negative logika instrumental
III. DIMENSI-DIMENSI ETIKA KOMUNIKASI
Jika dibangun etika komunikasi bagi media, ada tiga hal yang harus diperhatikan: pelaku, tujuan dan sarana. Perlu penguatan deontology jurnalis untuk menjadi rambu-rambu batas kebebasan pers. Perlu ditata sedemikian rupa prosedur regulasi. Perlu ada komisi yang melaksanakan. Perlu memperhatikan factor yang kuat yang telah “mengarahkan” media manjadi sedemikian rupa, yakni tekanan ekonomi. Ekonomi sebagai factor terbesar “pengarah” media, tidak dapat diingkari keberadaannya yang membuat media hidup, sekaligus akhirnya menyeret media sebagai alat ekonomi. Perlu dibangun sebuah budaya baru yang luwes dalam dunia media dengan mengelola secara baik potensi bersaing di dalam media. Dalam merancang dan mengelola etika komunikasi perlu melibatkan partisipasi masyarakat. Etika perlu menyerap emosi mereka, serta melibatkan wadah-wadah pekerja media. Dihindarkan tingkat keseringan reorganisasi institusi yang berdampak pada kurang matab dan kurang sinambungnya kebijakan yang baik, terancam mudah berubah. Dalam hal ini pula maka perlu ada konsultan dalam etika media, yang punya legitimasi yang kuat tanpa harus membelenggu. Konsultan yang memahami rasionalitas social.
IV. MEDIA, PELAYANAN PUBLIK DAN LOGIKA POLITIK
Media penuh dengan rekayasa yang terselubung yang menenggelamkan kesadaran pembaca atau pendengar, sehingga menyakini opini sebagai kebenaran dan fakta. Media menjadi perayu ulung (demagog) yang nyaris selalu sukses menghipnotis masa. Termasuk dalam melihat politik. Dengan kecanggihan teknologi media semakin menjamur. Sulit pula membedakan media yang bermutu dengan yang tidak. Walau media berorientasi keuntungan, namun ia tetap butuh legitimasi public sebagai konsumen. Sebagai pelayan public, media harus memperhatikan kontinuitas, kesetaraan, dan adaptif. Tuntutan tersedianya berita dengan cepat, memicu lemahnya prosedur demokratik dalam memburu berita. Ketika media telah memberikan andil menjadikan politik menjadi tontonan ketimbang partsisipasi masyarakat dalam politik, maka daya tarik komunikasi politikpun melemah. Seiring dengan itu, maka media hadir mengisi nilai-nilai yang hilang dalam masyarakat. Media telah menjadi nilai baru. Nilai yang diperlukan ditata dengan etika berkomunikasi di tengah masyarakat yang sangat pontensial terjadin konflik.
V. ETIKA KOMUNIKASI DAN MASALAH PORNOGRAFI
Wacana etika komunikasi juga dihadapkan polemic seputar pronografi yang juga disajikan oleh media. Ada desakan perlu perlindungan warga dari kecenderungan pornografi. Ada pertimbangan paling minimal yang dapat diambil oleh media. Namun demikian andai hokum dibuat sebagai aturan etis agar pornografi dapat ditangkal, yang paling menjadi korban adalah perempuan. Apakah itu pornografi dan erotisme, perlu dikaji secara utuh jika media hendak memasukkan hal itu sebagai bagian dari tanggungjawab etiknya. Tidak dapat secara parsial. Media harus pula dapat menghindarkan diri dari kendali Negara yang sering bertindak sebagai polisi moral, legalisme yang tidak toleran, sikap mengontrol semua, bahkan deskriminasi hokum masyarakat. Etika komunikasi sangat perlu mempertimbangkan multikulturalisme.
VI. MENGHADAPI KEKERASAN MEDIA
Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun di dalamnya ada terjasi nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya. Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinidikan dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan dapat terjadi sebagai dokumen maupun fisik. Juga semacam latihan/simulasi kekerasan. Tanpa terkecuali kekerasan yang sifatnya symbol, kekerasan yang berupa sikap tidak saling peduli masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa terjebak bersikap represif.
VII. DILEMA REGULASI PUBLIK KEBEBASAN DAN TANGGUNGJAWAB
Penataan dan pengaturan terhadap sepak terjang media di tengah masyarakat tidak dapat dihindari. Dengan regulasi public, maka dapat dihilangkan, paling tidak dikurangi konflik di tengah masyarakat yang dipicu oleh informasi yang sesungguhnya multi tafsir. Regulasi juga sangat diperlukan mengingat pluralitas pada seluruh dimensi masyarakat, yang harus dibarengi dengan deontology profesi jurnalis. Agar media tidak sewenang-wenang, berat sebelah, pilih kasih. Ada banyak macam regulasi public yang bisa disajikan dan dilakukan serta diawasi oleh public sendiri. Ara regulas yang menitikberatkan pada soal procedural. Regulasi itu harus memperhatikan secara seimbang, untuk tidak berat sebelah, atau terjebak pada salah satu dari aliran etika yang saling bersaing, yakni deontology, teleology dan situasional. Akan tetapi bagaimana tiga aliran yang ada itu diolah, bukan dikalahkan satu sama lain, sehingga menghasilakan etika yang baik.

Entry Filed under: Uncategorized

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to comments via RSS Feed

Pages

Categories

Calendar

January 2010
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Most Recent Posts